Mengulas Mahar untuk Maharani
MUM di Mata Maharani
Mahar Untuk Maharani adalah novel pertama karya Azhar Nurun Ala
yang saya miliki. Awalnya, saya membelinya jujur hanya sebatas judulnya sama
dengan nama saya, haha. Saya memesannya sebelum UAS pada tanggal launching pertama.
Selain ingin mendapatkan tanda tangan si penulis, saya ingin menjadikan novel
ini sebagai daftar selebrasi setelah bertarung dengan UAS, dan saya mulai
berlebihan, haha.
Sambil menunggu si novel datang, saya membaca sinopsis yang
dipublikasikan si penulis lewat berbagai kanal medianya. Setelah membaca semua
"bocoran" isi novel Mahar Untuk Maharani, saya berlagak seperti dukun
kampung yang sok tahu menebak alur dan akhir cerita dari novel ini. Yang
ditunggu akhirnya datang, novel datang tepat sehari sebelum UAS dimulai. Ah,
betapa gravitasi novel ini lebih kuat daripada gravitasi menghafal teori-teori
politik yang akan diujikan besok. Saya ingin membuktikan ramalan saya itu, saya
ingin menuntaskan semua rasa penasaran yang terlanjur menjalar. Tapi lagi, saya
sudah membuat perjanjian dengan diri sendiri agar tidak membacanya sampai UAS
selesai. Bukan hanya lelaki sejati yang harus menepati janji, perempuan pun
harus demikian, bukan? dengan hati yang berat, seberat rindu Dilan, saya
letakkan novel itu dengan setengah berbisik "tunggu satu minggu lagi, kau
baru bisaku jamah."
UAS berakhir, novelpun sudah dapat dibaca. Pertama membaca saya
seakan diajak berkenalan dengan Salman, Maharani dan Dimas dengan semua
kehidupan masa kecil mereka sampai polemik yang mereka hadapi bertiga. Baru
beberapa puluh halaman terbaca, semua tebakan saya terbantahkan. Semua diluar
dugaan dan alur yang disajikan cenderung penuh kejutan. Pengemasan bahasa yang
sederhana, serta kecocokan latar tempat dengan nama tempat tinggal saya, juga nama
ayah Maharani dengan nama ayah saya yang hanya beda huruf depannya saja membuat
saya tertarik semakin jauh ke dalam cerita. Seakan-akan saya melihat pipi
Maharani yang memerah karena dibonceng Salman, atau terkadang saya juga
merasakan ketegangan Salman saat berhadapan dengan pak Umar. Novel ini, membuat
saya seperti sedang menonton film Korea, menjadi candu dan mengundang hasrat
untuk menuntaskan. Tetapi saya urungkan, saya ingin mengkhatamkan novel ini di
tempat liburan yang juga menjadi daftar selebrasi setelah UAS; Ranca Upas
Bandung.
Pagi itu di Ranca Upas Bandung, saya melanjutkan bacaan yang
sempat terjeda. Halaman demi halaman terbaca, tabir cerita MUM pun tersibak.
Tiba di halaman-halaman terakhir, saya pernah merasa lega karena Dimas akhirnya
menikah dengan cinta pertamanya, artinya masih ada kesempatan untuk Salman
walau hati pak Umar masih membatu tak merestui, setidaknya celah itu masih ada.
Tetapi seketika saya kaget, ketika Ajran lah sang malaikat penolong bagi Salman
yang akhirnya berhasil merebut hati pak Umar dan melamar Maharani.
Dari kejadian Ajran dan Maharani, penulis seperti mengisyaratkan
bahwa firman Tuhan selalu benar : Yang baik untuk yang baik, pun sebaliknya.
Bahwa Ajran pemuda yang selama hidupnya menjaga akhlak dan senantiasa
bekerja keras mewujudkan mimpi orangtuanya untuk mencari professor Koswara
dan mendapatkan formula impian, pantas mendapatkan perempuan seshalihah pula
seanggun Maharani.
Pada edisi kedua Mahar Untuk Maharani semoga ada keajaiban untuk
Salman. Setidaknya Salman pantas mendapatkan penghargaan atas semua yang sudah ia
perjuangkan; kerja kerasnya menyelesaikan skripsi, pemantasan diri dengan masuk
pondok Quran juga kepedihan secara tidak langsung karena melewatkan memberi
pada Nabila, gadis yang diam-diam jatuh hati pada Salman.
Terakhir, saran saya kepada penulis tidak perlu risau karyamu akan
menjadi sebuah bahan bacaan yang menyenangkan atau tidak.Karena mustahil
menyenangkan semua pihak. Terus menulis dan menginspirasi, kak Azhar.
Terima kasih sudah ikut mengoleksi dan ikut mengulas. Semoga bermanfaat, salam untuk Pak Ukar! Semoga beliau dapat menantu yang baik. :))
BalasHapusWah, kayanya mantap nih novelnya. Hmmm, jadi penasaran sama yang baca.
BalasHapus